November 8, 2024

Pukat Harimau, Hilangnya ABK, dan Dugaan Jual Beli Hukum: Kontroversi di Laut Bangka

BANGKA BELITUNG – MB1 II Perairan Bangka Belitung, yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi para nelayan, kini menjadi arena bagi drama kehidupan yang kelam. Sebuah kapal nelayan, Layla, milik Mira, menjadi pusat perhatian setelah terkuaknya dugaan penggunaan alat tangkap terlarang jenis Pukat Harimau atau Trawl. Namun, yang lebih memilukan adalah hilangnya salah satu anak buah kapal (ABK), Edi alias Gondrong, yang diduga terkait dengan praktik jual beli hukum yang menggemparkan Bangka Selatan. Jumat (16/2/2024).

Pada awalnya, tidak ada yang curiga ketika kapal Layla berlayar di perairan OKI, Sumatera Selatan, menggunakan pukat terlarang tersebut.

Namun, semakin hari, kejanggalan terkait hilangnya ABK Edi alias Gondrong semakin mencuat ke permukaan.

Indikasi adanya praktik jual beli hukum mulai terlihat ketika Kapten Kapal Layla, Jally, secara terang-terangan menyatakan bahwa “ada duit tidak ada perkara yang sulit,” di depan khalayak ramai.

Ucapan tersebut bukanlah sembarang kata-kata, melainkan pemicu kecurigaan masyarakat terhadap adanya keterlibatan uang dalam penanganan kasus ini.

Narasumber inisial EP, teman dekat korban, mengonfirmasi bahwa Jally memang telah melontarkan kata-kata tersebut di depan publik.

Dalam kesaksian yang memilukan, EP menyatakan perasaan sakit hati atas ucapan tersebut, yang menyiratkan adanya ketidakadilan dan kemungkinan adanya pelanggaran hukum yang terjadi.

Keberadaan Kapten Kapal dan pemilik kapal yang tidak ditahan oleh kepolisian semakin memperkuat dugaan adanya jual beli hukum.

Meskipun kapal Layla telah diamankan atas penggunaan alat tangkap ilegal, namun sosok-sosok yang seharusnya bertanggung jawab dalam tragedi hilangnya ABK Edi alias Gondrong masih bebas berkeliaran.

Alasan dari pihak kepolisian bahwa belum cukup dua alat bukti untuk menahan mereka menimbulkan kekecewaan dan kekesalan yang mendalam dari pihak keluarga korban dan masyarakat sekitar.

Marlena, salah satu keluarga korban, menyampaikan kekecewaannya terhadap penanganan kasus ini oleh pihak kepolisian.

Begitu juga dengan Rizal Rahif, perwakilan keluarga korban yang menilai bahwa fokus hanya pada motif hilangnya ABK Edi alias Gondrong, tanpa adanya penindakan terhadap Kapten Kapal dan pemilik kapal, adalah tindakan yang sangat disayangkan.

Namun, dalam undang-undang pelayaran, tanggung jawab utama atas kecelakaan kapal jelas diletakkan pada Nahkoda atau Kapten Kapal.

Hal ini sesuai dengan Pasal 249 UU Pelayaran yang menetapkan bahwa kecelakaan kapal merupakan tanggung jawab sang Nahkoda.

Dalam hal ini, jika Nahkoda lalai dalam menjalankan tugasnya dan menyebabkan kecelakaan, ia dapat dipidana sesuai dengan Pasal 302 UU Pelayaran.

Kasat Pol Airud Polres Bangka Selatan, AKBP Eddy Syuaidi, menegaskan bahwa tanggung jawab utama atas kejadian di kapal Layla adalah pada Nahkoda.

Namun, alasan belum cukup bukti untuk menahan Nahkoda dan pemilik kapal menimbulkan pertanyaan serius akan objektivitas dan keadilan dalam penanganan kasus ini.

Keluarga besar ABK Edi alias Gondrong dengan tegas meminta kepada Kapolda Bangka Belitung dan Kapolri untuk segera bertindak tegas atas kejanggalan dan alasan-alasan yang menghambat proses hukum.

Mereka merasa bahwa ada kepentingan yang lebih besar di balik pembebasan Nahkoda dan pemilik kapal, dan meminta agar keadilan segera dipulihkan bagi keluarga korban dan masyarakat Bangka Belitung.

Dengan segala kekisruhan dan ketidakpastian yang menyelimuti kasus ini, satu hal yang pasti adalah bahwa keadilan harus didahulukan dan kebenaran harus terungkap. Bangka Belitung, tempat di mana laut memberi kehidupan, harus juga menjadi tempat di mana hukum dan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.

 

 

 

(KBO Babel/MB1 Babel)