April 23, 2025

Ketika Mafia Tambang Bermain di Hutan Bakau: Warga Tantang Kapolres Bongkar CV RMS

KABUPATEN MENTOK, MB1 II Kawasan DAS Selindung, yang dulunya menjadi paru-paru ekologis Mentok, kini menjelma menjadi luka terbuka yang bernanah. Diam-diam, kawasan ini dikeruk habis oleh Ponton Isap Produksi (PIP) CV RMS, mitra PT Timah Tbk, dengan dalih memiliki Surat Perintah Kerja (SPK). Tapi benarkah SPK itu berlaku di kawasan lindung dan perairan mangrove? Selasa (22/4/2025).

Tidak. Pasalnya, DAS Selindung sejak awal telah dinyatakan sebagai kawasan terlarang untuk ditambang. PT Timah bahkan pernah mengusir CV Torabika dari lokasi yang sama karena dianggap melanggar zona konservasi. Tapi kini, CV RMS justru leluasa beroperasi. Pertanyaannya: Ada apa? Siapa yang bermain di belakang?

Investigasi media jejaring beradoknew.com – KBO Babel mengungkap fakta mengejutkan: penambangan CV RMS berlangsung di bawah dugaan koordinasi oknum Wasprod (Wastam) dan disebut-sebut sebagai bagian dari jaringan lama yang kini bertransformasi.

Diduga kuat, ini adalah kerja sindikat tambang ilegal yang bermetamorfosis di balik bendera perusahaan legal.

Lebih jauh, kegiatan CV MRS secara terang-terangan melanggar Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang menyatakan:

“Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, IPR, atau SIPB) dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.”

Tak hanya itu. Mereka juga menabrak Pasal 69 dan 70 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setiap aktivitas yang merusak ekosistem, terutama hutan bakau dan perairan, adalah kejahatan ekologis yang harus dihentikan, bukan dibiarkan.

Warga Desa Selindung kini tidak lagi diam. Mereka menyampaikan aspirasi keras kepada Kapolres Bangka Barat, AKBP Pradana Aditya Nugraha, SIK, agar segera mengambil langkah tegas. Meski baru beberapa bulan menjabat, masyarakat menaruh kepercayaan tinggi bahwa kepemimpinan barunya bisa menegakkan hukum yang adil dan tidak tebang pilih.

“Kami tidak butuh janji. Kami ingin tindakan. Kalau dulu CV Torabika ditolak menambang, kenapa sekarang CV MRS dibiarkan? Jangan sampai kepercayaan kami jadi sia-sia,” ujar salah satu tokoh pemuda setempat.

Situasi ini bukan hanya tentang pasir timah dan kerusakan lingkungan. Ini soal harga diri hukum dan masa depan generasi mendatang.

Ketika tambang ilegal dibiarkan beroperasi di wilayah yang dilindungi, itu artinya hukum telah diserempet oleh kuasa uang dan koneksi elit. Dan jika ini benar, semua mata kini tertuju pada Kapolres: akankah beliau berani melawan arus?

Lebih lanjut, warga menegaskan akan mengawasi secara ketat kinerja aparat penegak hukum (APH). Sesuai amanat PP No. 39 Tahun 2010, masyarakat berhak melakukan pengawasan dan mendesak penindakan terhadap segala bentuk pelanggaran pertambangan, termasuk pembekuan SPK, penutupan tambang, dan penyelidikan pihak-pihak yang terlibat.

Kini publik menanti: Apakah hukum bisa berdiri tegak di Bangka Barat? Atau kita harus menyaksikan babak baru pengkhianatan terhadap lingkungan demi kepentingan segelintir elite tambang?

Warga menyatakan siap menempuh jalur hukum kolektif, termasuk gugatan class action jika Kapolres dan instansi terkait tak juga bertindak. Karena yang mereka hadapi bukan sekadar tambang ilegal, tapi mafia tambang yang terstruktur dan mengakar. .

 

 

(Sumber : (KBO Babel)