Agustus 2, 2025

Hutan Terancam Punah, Penegakan Hukum Mandek: Investigasi Pembalakan Liar di Sultan Daulat Subulussalam

SUBULUSSALAM – ACEH, MB1 II Di balik hijau lebatnya lanskap Sultan Daulat, sebuah kecamatan di wilayah administratif Kota Subulussalam, Aceh, terdapat cerita suram tentang bagaimana kawasan hutan yang seharusnya dilindungi perlahan-lahan ditebang, dijarah, dan dikosongkan. Aktivitas ilegal logging—atau pembalakan liar—yang berlangsung nyaris tanpa hambatan di wilayah ini kini menjadi sorotan tajam warga, aktivis lingkungan, hingga tokoh masyarakat lokal.

Temuan investigasi eksklusif yang dihimpun media menunjukkan bahwa pembalakan tidak hanya menyasar hutan produksi, tetapi juga mulai menyentuh kawasan hutan lindung yang memiliki fungsi vital sebagai penyangga ekologis. Ironisnya, aktivitas ini berlangsung secara terang-terangan, bahkan di siang bolong.

“Di lapangan, tim investigasi mendapati adanya jalan-jalan tanah baru yang dibuka secara tidak sah. Jalur ini diduga kuat menjadi lintasan utama bagi truk dan kendaraan pengangkut kayu hasil pembalakan. Kayu gelondongan berbagai ukuran diangkut tanpa pengawasan berarti dari aparat maupun instansi teknis kehutanan.

Seorang warga di kawasan Lae Bersih, yang tinggal tak jauh dari jalur pengangkutan kayu tersebut, mengaku hampir setiap hari melihat lalu lalang truk-truk besar.

“Biasanya lewat jam 10 pagi sampai sore. Mereka tidak sembunyi-sembunyi. Seolah-olah sudah biasa. Tak pernah kami lihat ada petugas yang cegat atau periksa,” ujarnya, sambil menunjuk jalan setapak yang kini telah menjadi jalur lebar berlapis tanah merah.

Menurutnya, suara gergaji mesin sudah menjadi hal lumrah di kawasan itu. Aktivitas pembalakan liar, katanya, bukan fenomena baru, tetapi kini jumlahnya meningkat drastis.

Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar terhadap peran Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah VI Aceh dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Subulussalam. Sebagai dua lembaga teknis yang memiliki mandat untuk menjaga kelestarian dan menindak pelanggaran pengelolaan hutan, diamnya kedua institusi tersebut dinilai sebagai bentuk pembiaran yang berbahaya.

Tokoh masyarakat Sultan Daulat, yang juga seorang mantan penyuluh kehutanan, menyayangkan lemahnya koordinasi antar instansi dalam merespons aktivitas ini.

“Kalau tunggul pohon sudah menyebar di mana-mana dan kayu lewat jalan umum tanpa dokumen resmi, berarti pengawasan itu gagal total. Jangan-jangan ada pembiaran karena ada ‘permainan’ di belakang layar,” tegasnya. Ia mendesak agar KPH Wilayah VI dan DLH segera melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan audit terbuka terhadap semua bentuk kegiatan pemanfaatan hutan di wilayah Sultan Daulat, khususnya di kawasan yang sebelumnya tercatat sebagai hutan produksi terbatas dan hutan lindung.

Tak hanya di Sultan Daulat, wilayah Barkot yang bertetangga juga diduga menjadi episentrum dari penyimpangan izin pengelolaan lahan. Beberapa dokumen perizinan yang beredar disebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Bahkan, ada dugaan kuat bahwa sebagian izin diberikan di atas kawasan konservasi, dengan modus pengalihan fungsi lahan secara bertahap.

Aktivis lingkungan dari Koalisi Hijau Subulussalam menuding adanya mafia perizinan yang mengatur distribusi dokumen secara ilegal, dengan memanfaatkan celah pada kelemahan data tata batas dan ketiadaan sistem pelaporan digital.

“Kami punya data indikatif bahwa beberapa izin dikeluarkan tanpa proses AMDAL dan UKL-UPL yang sah. Bahkan ada yang disahkan tanpa konsultasi publik,” ujar ketua LSM tersebut.

Ia menambahkan bahwa praktik semacam ini telah terjadi bertahun-tahun, dan kian memburuk sejak adanya pembiaran dari oknum birokrasi tingkat lokal.

“Dampak dari pembalakan liar bukan hanya berupa kehilangan tutupan hutan. Wilayah ini juga berpotensi menghadapi krisis ekologis serius: banjir, kekeringan ekstrem, gangguan habitat satwa dilindungi, hingga konflik manusia-hewan seperti serangan harimau dan gajah yang habitatnya terganggu. Beberapa penduduk di Dusun Singkohor menyampaikan bahwa dalam dua tahun terakhir debit air sungai kecil yang mengalir ke lahan pertanian mereka semakin tidak menentu.

“Kalau dulu air mengalir terus. Sekarang sering kering, apalagi musim kemarau. Itu semua karena hutan di atas sana sudah botak,” keluh seorang petani muda.

Kerusakan ini tidak hanya mengancam ekonomi warga yang bergantung pada pertanian dan hasil hutan, tetapi juga memutus warisan ekologis yang selama ini menjadi identitas masyarakat adat di kawasan itu.

Merespons situasi ini, berbagai organisasi masyarakat sipil mendorong Pemerintah Kota Subulussalam dan aparat penegak hukum untuk bertindak cepat dan tanpa pandang bulu. Mereka menuntut dibentuknya Tim Gabungan Independen (TGI) yang melibatkan unsur kejaksaan, kepolisian, BPKP, akademisi kehutanan, dan perwakilan masyarakat sipil.

“Hukum harus ditegakkan dari hulu sampai hilir. Jangan cuma tangkap pekerja di lapangan, sementara aktor utamanya duduk nyaman di balik meja,” kata perwakilan Koalisi Pemuda Peduli Hutan (KPPH).

Mereka juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi Aceh untuk turun tangan menyelidiki potensi korupsi dalam tata kelola izin kehutanan di wilayah ini.

Apa yang terjadi di Sultan Daulat adalah potret kerusakan hutan yang tak sekadar dipicu oleh gergaji mesin dan truk pengangkut kayu. Lebih dalam dari itu, masalah ini berakar pada kegagalan sistem pengawasan, lemahnya penegakan hukum, serta potensi korupsi dalam tata kelola izin kehutanan. Jika pemerintah dan masyarakat tidak bergerak cepat, Sultan Daulat akan menjadi contoh tragis dari bagaimana hutan yang dulu hijau dan lebat kini tinggal sejarah. Maka pertanyaannya, akankah kita menjaga hutan sebagai warisan anak cucu, atau menjualnya sedikit demi sedikit demi keuntungan sesaat?

Editorial ini merupakan bagian dari kerja investigatif media dalam mengungkap persoalan lingkungan hidup, tata kelola sumber daya alam, dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Setiap informasi disusun berdasarkan verifikasi di lapangan, laporan warga, serta analisis terhadap data dan dokumen perizinan.

 

 

 

 

( TIM )