Juli 29, 2025

Rohila Diduga Kebal Hukum, Terus Pungut Uang “Koordinasi” Ponton User Laut Enjel: Penambang Ilegal Terus Beraksi, APH Diminta Bertindak Tegas

MENTOK – BANGKA BARAT, MB1 II Aktivitas tambang timah ilegal kembali mencuat di perairan Laut Enjel, Dusun Kemang Masem, Desa Air Putih, Kecamatan Mentok, Bangka Barat. Puluhan ponton jenis user-user tampak bebas mencabik-cabik dasar laut dengan dalih mencari nafkah, namun sejatinya sedang melanggar hukum dan merusak lingkungan secara brutal. Jum’at (25/7/2025).

Yang paling menyita perhatian, muncul kembali nama Rohila, oknum warga Kemang Masem yang kerap disebut-sebut sebagai pengumpul setoran dari para penambang.

Dalam investigasi lapangan yang dilakukan pada Selasa (22/7/2025), terpantau sedikitnya belasan hingga puluhan ponton aktif beroperasi, dan diduga masing-masing menyetor Rp. 200 ribu per unit per minggu kepada Rohila agar “diberi rasa aman” saat bekerja di kawasan ilegal tersebut.

Lebih ironis, Rohila berdalih bahwa pungutan itu disalurkan untuk anak yatim dan janda. Namun pernyataan itu dibantah oleh warga setempat.

“Itu cuma akal-akalan Rohila. Keluarga saya sendiri ada anak yatim di situ, nggak pernah dapat bantuan apapun dari dia,” ujar seorang sumber yang minta namanya disembunyikan.

Sumber lain bahkan menyebut bahwa warga asli Air Putih pun ikut dipungut, padahal sebelumnya disebut hanya penambang dari luar desa yang dimintai uang koordinasi.

“Kami orang kampung sendiri pun disuruh setor. Kalau tak bayar, kerja terganggu,” sambungnya dengan nada kecewa.

Upaya konfirmasi kepada Rohila dilakukan awak media, namun nomor yang sebelumnya aktif kini telah memblokir akses komunikasi. Ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada praktik ilegal yang terorganisir dan sistematis.

Landasan Hukum yang Dilanggar

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, aktivitas pertambangan tanpa izin resmi (IUP, IUPK, atau IPR) merupakan kejahatan pidana. Pasal 158 UU Minerba menyatakan: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).

Lebih jauh, jika benar terjadi praktik pungutan oleh pihak non-aparat tanpa dasar hukum, maka itu juga dapat dijerat melalui Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, yang menyebut: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan ancaman untuk menyerahkan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.

Tindakan Rohila jika terbukti juga berpotensi melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya jika pungutan yang diklaim sebagai “untuk anak yatim dan janda” tidak pernah sampai ke sasaran.

Tanggung Jawab Aparat Penegak Hukum

Kepolisian sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) memiliki kewenangan penuh untuk menindak tegas praktik pertambangan ilegal berdasarkan Pasal 160 dan 161 UU Minerba.

Namun sayangnya, hingga berita ini diturunkan, konfirmasi resmi dari Polres Bangka Barat belum diperoleh.

Masyarakat mendesak pihak berwenang untuk segera bertindak dan tidak membiarkan kegiatan yang merusak lingkungan dan mengangkangi hukum ini terus berlangsung.

Apalagi, dugaan keberadaan “pelindung” atau beking di balik aksi Rohila dan kelompok tambang liar tersebut harus diusut tuntas.

Selain merusak ekosistem laut dan terumbu karang, tambang ilegal ini jelas merugikan negara dari sisi pajak dan retribusi. Sanksi pidana dan pemiskinan terhadap pelaku utama, koordinator lapangan, serta penadah timah hasil tambang ilegal menjadi langkah penting untuk menghentikan siklus kejahatan lingkungan ini.

Masyarakat kini menunggu: apakah hukum masih berlaku bagi semua, atau ada nama-nama kebal hukum seperti yang disematkan pada sosok Rohila?

 

 

 

 ( AGUNG/DHARMA )