PANGKALPINANG, MB1 II Ironi besar tengah terjadi di jantung pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di balik megahnya gedung Balai Latihan Kerja (BLK) milik Pemerintah Provinsi, tepat di kawasan kolong Spritus yang hanya sepelemparan batu dari Mapolda Babel, Makorem 045/Gaya, Kantor Satpol PP Provinsi, dan Kantor Gubernur Babel, puluhan mesin tambang timah ilegal beroperasi leluasa setiap malam. Sabtu (18/10/2025).
Sedikitnya 20 unit mesin isap jenis Robin beroperasi aktif di kawasan tersebut. Lahan yang sejatinya aset pemerintah provinsi itu kini berubah menjadi “zona gelap” tambang liar yang diduga kuat telah hidup kembali sebulan terakhir setelah sebelumnya ditertibkan.
Ironinya, aktivitas yang jelas-jelas melanggar Pasal 158 Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 jo. UU Nomor 2 Tahun 2025, dengan ancaman pidana lima tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar, justru berlangsung di wilayah administratif yang dikepung oleh institusi penegak hukum.
Lebih dari sekadar pelanggaran lingkungan, situasi ini memperlihatkan rapuhnya wibawa hukum. Tak masuk akal bila aktivitas tambang dengan puluhan mesin, ratusan penambang, dan pergerakan logistik bahan bakar bisa lolos dari pengawasan aparat, sementara lokasinya hanya berjarak ratusan meter dari markas kepolisian dan militer.
Pembiaran yang Berlapis dan Melukai Akal Sehat
Dugaan keterlibatan atau pembiaran oleh oknum aparat semakin menguat. Warga sekitar menuturkan bahwa aktivitas tambang selalu meningkat saat malam hari dan berhenti menjelang pagi — seolah memahami ritme patroli aparat. Saat siang, kawasan itu tampak steril, seakan tak pernah ada aktivitas.
Fenomena ini memperlihatkan adanya sistem pengamanan tak resmi yang mengatur ritme kerja tambang ilegal di kawasan strategis negara. Bila benar ada bekingan aparat, maka bukan hanya pelanggaran etik, tapi juga pelanggaran berat terhadap integritas institusi penegakan hukum.
Dalam perspektif hukum, pembiaran atas aktivitas pidana seperti ini dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, serta bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Lebih dari itu, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab hukum dalam pengelolaan aset dan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009. Artinya, pembiaran yang dilakukan di atas lahan milik pemerintah provinsi bukan hanya pelanggaran administrasi, tapi juga bentuk kelalaian struktural yang bisa berimplikasi hukum.
Tambang Liar di Area Pemerintahan Diduga Dibekingi Aparat.
Kawasan Pemerintahan yang Jadi Wilayah Abu-Abu
Kolong Spritus sejatinya berada di tengah pusat kegiatan pemerintahan. Hanya beberapa menit berjalan kaki dari Kantor Gubernur, gedung Satpol PP, dan markas besar TNI-Polri di Babel. Fakta ini membuat publik bertanya: apakah aparat benar-benar tidak tahu, atau sengaja membiarkan?
Jika tambang ilegal bisa hidup bebas di tengah simbol kekuasaan negara, maka apa yang bisa diharapkan dari penegakan hukum di daerah terpencil?
Situasi ini menciptakan paradoks: di satu sisi pemerintah provinsi mengusung jargon reformasi birokrasi dan penguatan tata kelola lingkungan, tapi di sisi lain, asetnya sendiri justru menjadi ladang ilegal yang mencoreng kredibilitas pemerintah.
Seruan untuk Tegakkan Wibawa Negara
Kasus tambang ilegal di belakang BLK Babel bukan sekadar persoalan lingkungan. Ini adalah ujian moral bagi institusi penegak hukum dan pemerintah daerah. Jika aparat berdiam diri, maka hukum tak lagi menjadi panglima, melainkan sekadar simbol tanpa makna.
Satpol PP Babel telah merekomendasikan investigasi lintas instansi, melibatkan kepolisian, TNI, kejaksaan, serta tim satgas penertiban tambang untuk menelusuri siapa di balik operasi malam itu. Namun, tanpa tindakan nyata dan keberanian politik, rekomendasi hanya akan berakhir di tumpukan berkas tanpa ujung.
Kini masyarakat menunggu: apakah hukum di Bangka Belitung masih punya nyali menghadapi praktik tambang ilegal yang beroperasi di bawah hidung penguasa? Atau justru kita sedang menyaksikan tumbangnya hukum oleh kolusi yang beroperasi di malam hari?
Satu hal pasti, diamnya aparat di tengah pelanggaran terang-benderang adalah bentuk penghianatan terhadap konstitusi dan keadilan. Negeri timah ini butuh ketegasan, bukan pembiaran. Karena di balik gemuruh mesin isap di kolong Spritus, yang terkubur bukan hanya bijih timah, tapi juga martabat hukum di Bangka Belitung.
( Agung )
More Stories
LSM KCBI Kritik Penangkapan Oplosan Gas: Pemain Kecil Ditangkap, Pemain Besar Aman?
Dalam Waktu 1×24 Jam, Satreskrim Polres Belitung Berhasil Ungkap Kasus Pencurian Rp300 Juta, Pelaku Berhasil Dibekuk
Rokok illegal Semakin Marak di Bangka, Bea Cukai Dituding Tutup Mata, Oknum Aph di Balik Layar..?