November 22, 2024

Dinasti Politik Seperti Kacang Lupa Kulit Dalam Berpolitik

JAKARTA – MB1 || Perilaku cerdas tapi licik, perilaku tak pandai terima kasih, haus akan kekuasaan, penghianat kawan sendiri, menghalalkan segala cara sering dikaitkan dengan tipikal personaliti politik ala Sengkuni. Sosok Sengkuni representasi perilaku politik yang tak ber etika dan bermartabat sebagaimana banyak dimainkan oleh para politisi di negeri nusantara kerajaan era Astina dalam kisah Mahabarata kalau tak mau disebut negeri Indonesia.

Sengkuni ini tipe politisi licik dan culas, yang mau jadi Pati kerajaan Astina tanpa harus berkeringat atau mendirikan partai di kerajaan Astina, adalah perilaku tak beretika dan sungguh bermoral rendah.
Sebab manusia yang tak padai terima kasih kepada orang yang pernah memberikan sesuatu kebaikan kepadanya, maka percaya lah lebih amat sulit lagi bisa bersyukur kepada Tuhannya sehingga akan dilanda rasa kekuragan dan kegelisahan jiwa yang tak berkesudahan.

Dalam kehidupan sering terdengar dan kita rasakan tentang penghianatan antar sesama kerabat bahkan saudara sekalipun. Berbagai kisah penghianat itu selalu bergulir kata-kata orang yang lupa kacang dari kulitnya.
Ada beberapa arti kacang lupa kulitnya seperti, orang miskin tukang kayu yang hidupnya dibatu oleh seseorang lantas jadi kaya dan melupakan orang yang membantunya, hal ini merujuk juga pada orang yang “lupa diri”.
Hal tersebut sering terjadi di kehidupan kita tetapi tidak lah menjadi suatu persoalan yang luar biasa.

Kacang lupa kulit peribahasa ini akan menjadi luar biasa dan dapat menjadi cermin tidak baik di publik jika terjadi pada tatanan politik dan kepemimpinan.

Seperti contoh kekinian yang terjadi, ada seseorang yang telah di usung okeh kekuatan politik hingga menjadi besar dan menjadi pemimpin tetapi melupakan secara terbuka dengan politik yang telah mengusung nya.
Yang menjadi sangat luar biasa dan tidak menjadikan contoh baik dan bijak sana adalah bukan hanya diri orang yang diusung, bahkan hingga keluarganya pun menjadi kacang lupa akan kulitnya.
Sehingga kejadian politik kacang lupa kulitnya ini tidak menjadikan contoh baik yang bijak tetapi membuat kegaduhan publik.

Rasa-rasanya, etika kerap kali disingkirkan ketika bicara tentang kekuasaan. Etika cenderung lebih relevan dengan citra diri personal. Seseorang yang beretika bagus, biasanya disenangi banyak orang. Tetapi etika tidak cukup untuk memenangkan seseorang dalam kontestasi perebutan kekuasaan.

Politik dinasti mengkhawatirkan karena diduga dapat memberangus demokrasi dan mengacaukan kaderisasi internal partai politik. Proses pencalonan melalui partai politik tidak lagi menggunakan merit system melainkan berdasarkan ikatan genealogis. Keputusan itu bukannya tanpa alasan, sebab ikatan keluarga dengan petahana dengan mudah menaikkan popularitas. Popularitas tentu menjadi faktor yang tidak kalah penting untuk menimbang-nimbang keputusan maju dalam kontestasi politik.

Demokrasi secara sempit pun pada akhirnya juga menjadi korban. Kader senior di partai politik bisa saja disalib dengan mudah dalam perebutan rekomendasi partai oleh anak-anak petahana yang masih seumur jagung di politik. Hal ini menimbulkan keresahan, terutama bagi kader-kader senior yang sudah sejak lama membangun kekuatan politiknya untuk bisa ikut berkontestasi.
Mari kita bersama jauhi cara-cara tidak baik dalam kepemimpinan yang di usung oleh kekuatan politik tetapi menghianati politik itu sendiri sehingga merusak pikiran publik.

 

 

 

(Syamsul Bahri)